APPL.or.id — Indonesia merupakan negara importir gandum terbesar kedua di dunia setelah Mesir, satu tingkat diatas Brazil. Data US Department of Agriculture (USDA) merilis bahwa Tahun 2011 impor gandum Indonesia mencapai 6,7 juta ton. Menengok data Kantor Menko Perekonomian RI, menyebutkan impor tahun ini diperkirakan tembus 7,1 juta ton. Prestasi yang sangat bombastis, bahan pangan yang tidak tumbuh di bumi nusantara; yang notebene bukan hasil keringat petani negeri ini, mampu menjadi pangan pokok strategis kedua setelah beras. Wajar jika fenomena impor gandum dan pola konsumsi terigu menjadi buah bibir dikalangan pelaku usaha pangan lokal, akademisi, negarawan, dan mungkin juga Anda.
Jas Merah
Sejarah mencatat budaya makan gandum/terigu dimulai tahun 1969, melalui program kerjasama ekonomi Negeri Paman Sam-RI dengan paket public law bertuliskan PL-480. Saat itu pemerintah berusaha mencari alternatif pangan selain beras (diversifikasi). Empat dekade telah berlalu, usaha keras pahlawan gandum telah membuahkan hasil seperti yang kita saksikan saat ini.
Mie instan telah berubah menjadi makanan pokok kedua setelah beras/nasi. Jika dalam sehari makan sebanyak tiga kali, tidak jarang mie instan menjadi sarapan pagi (breakfast), begitu juga makan malam, siangnya baru makan nasi/beras. Fenomena ini terjadi baik di kota maupun di desa. Dari anak-anak, pelajar, sampai mahasiswa, guru/dosen, orang tua. Ketika bencana terjadi pun sering kita saksikan makanan berbahan impor ini menghiasi tenda-tenda pengungsian. Wajar jika konsumsi mie instan menyumbang 60% kebutuhan gandum/terigu nasional. Posisi kedua kebutuhan roti dan kue (30%), sisanya 10% memasok industri rumah tangga.
MOCAF=Modified Cassava Flour
Di bidang Teknologi Pertanian, telah ditemukan teknik mengolah telo/ubi kayu menjadi tepung alternatif terigu. Secara sederhana, teknologi ini merekayasa sel ubi kayu sedemikian rupa sehingga mampu menghilangkan aroma singkong, memodifikasi tekstur dan warnanya sehingga mendekati tepung terigu. Mocaf berbeda dengan tepung gaplek (bahan tiwul) atau tepung singkong. Mocaf mampu mensubstitusi terigu 20%-100%. Brownies contohnya, kue coklat yang sangat lezat ini bisa dibuat dengan 100% tepung singkong (MOCAF) dengan rasa yang jauh lebih lezat daripada brownies tepung impor. Mie instan dan bubur bayi sangat mungkin dikembangkan dengan tepung telo ini. Selain itu, Mocaf tidak mengandung gluten sebagaimana tepung terigu, sehingga MOCAF dapat dikonsumsi penyandang autis. Secara ekonomi, harga MOCAF mampu bersaing dengan harga tepung impor di pasar ritel.
Impor Pangan Tidak “Haram”
Berat rasanya untuk mengatakannya. Harus demikian jika kita melihat dalam konteks kebijakan darurat untuk mencukupi stok pangan nasional. Keterpaksaan impor pangan dapat dimaklumi sebagai kewajiban negara untuk memenuhi hak dasar rakyat yaitu kecukupan gizi (pangan) agar manusia Indonesia dapat hidup aktif, sehat dan produktif. Dalam konteks ketahanan pangan, sah-sah saja mengganti “beras impor” dengan “gandum impor” atas nama diversifikasi pangan. Namun persepsi ini tertolak jika dilihat dari perspektif kemandirian pangan. Lebih-lebih jika negara dituntut mewujudkan kedaulatan pangan.
Betul bahwa impor pangan merupakan cara cepat memenuhi stok pangan nasional dan “masuk akal” secara ekonomi. Namun sudahkah dipertimbangkan tradeoff (pengorbanan) berupa ongkos sosial, budaya, kesehatan masyarakat dan isu keamanan nasional. Bagaimana menghitung kerugian petani saat berhadapan dengan produk impor? Bagaimana menghitung keselamatan rakyat jika suatu saat ditemukan mikrobiologis jahat dalam pangan impor? Bagaimana jika harga pangan dunia melambung tak terkendali? Jika suatu saat terjadi embargo atau gagal panen yang dialami petani gandum misalnya; sementara masyarakat sudah “kadung” bergantung terigu. Benar bahwa “urusan perut tidak bisa ditunda-tunda”, pertanyaanya apakah bijak jika isi perut harus didikte (bergantung) negara lain?
Demi menjaga kedaulatan bangsa, penulis mengusulkan: pemerintah mengurangi impor pangan, khususnya gandum dan anak cucunya. Melakukan proteksi terhadap tepung lokal serta memasukkan MOCAF sebagai pangan pokok yang distok negara. Jika impor pangan berpotensi membahayakan kedaulatan bangsa maka bertepatan Hari Pangan Sedunia, saatnya Membangkitkan Semangat Telo, yang sejatinya “Netheli barang sing olo”; menuju bangsa yang mandiri, bermartabat dan berdaulat. Sesuai judul di atas.
Disadur dari Asosiasi Pelaku Usaha Pangan Lokal.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar